Halaman

Rabu, 06 Agustus 2008

Partai Islam dalam Bingkai Fanatisme

Persoalan tentang keislaman dewasa ini kini kian kompleks saja. Mulai dari masyarakat awam hingga para intelektual, ulama atau pakar-pakar keislaman tanpa terkecuali. Beberapa kasus yang hadir di negeri ini dapat kita jadikan contoh nyata. Seperti: munculnya aliran-aliran yang tidak sesuai dengan aqidah Islam, fitnah atas nama Islam hingga perselisihan di tubuh berbagai golongan, kelompok, komunitas yang mengusung identitas Islam. Pada contoh yang disebutkan terakhir dapat kita lihat dari tulisan-tulisan yang ada di media massa cetak maupun maupun tayangan-tayangan di media massa elektronik (televise).

Islam dengan berbagai ajarannya tentang kebenaran dan tolerasi dalam menjalani kehidupan (social) ternyata belum dapat diaplikasikan secara maksimal oleh umatnya. Adanya perpecahan dalam tubuh organisasi (partai) besar di tanah air yang kita cintai ini dapat kita jadikan rujukan. Beberapa partai besar yang dahulunya menyematkan label Islam sebagai tuntunan dalam usaha pencapaian visi dan misi demi kesejahteraan umat lambat laun sepertinya mulai tergerus arus kehidupan (modern) yang tidak dapat dielakkan.

Kebenaran-kebenaran serta nilai-nilai ajaran Islam yang mereka ketahui sebelumnya kemudian menjadi luput dalam kaitannya dengan pengamalannya di lapangan. Dalam hal ini aplikasinya di organisasi yang menaungi mereka. Kepentingan pribadi justru menggerus kepentingan bersama yang seharusnya lebih diutamakan. Banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai alasan atau penyebab dari itu semua. Di antaranya, ilmu atau pengetahuan akan Islam yang sempit, kurangnya kepercayaan diri terhadap apa yang dimiliki, serta adanya fanatisme terhadap seseorang (mengagung-agungkan) teladan serta merupakan pemimpin di dalam partai sepertinya menjadi biang keladi dari semua persoalan internal partai (Islam) tersebut. Padahal Islam mengajarkan bahwa untuk mencintai maupun membenci sesuatu itu tidak boleh berlebihan (sekedarnya).

Mau tidak mau adanya sikap penghambaan yang demikian menjadikan ajaran Islam yang bersifat universal menjadi parsial akibat ulah pribadi (individu) umatnya sendiri. Persoalan-persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan kepala dingin justru malah menjadi berbelit-belit, tidak terselesaikan hingga perpecahan pun dianggap sebagai pilihan akhir. Belum lagi ditambah dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma ataupun nilai-nilai Islam yang menjurus kepada tindakan kriminal acapkali dilakukan tanpa mempedulikan kerugian-kerugian yang akan diderita.

Sedangkan sistem ketatanegaraan kita pun (Indonesia) menganut paham demokrasi yang memberikan kesempatan sama dan merata kepada warga negaranya untuk bersuara atau berpendapat. Oleh sebab itu merupakan suatu hal yang patut kita sadari bahwa Islam bukanlah agama yang memaksa. Memaksakan ajarannya, pengikutnya ataupun nilai-nilai yang ada di dalamnya. Islam merupakan agama bagi mereka yang berpikir. Berpikr dalam tiap ucapan, apa yang ia lihat, perbuatan yang dilakukan ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan social umatnya. Semoga perselisihan di tubuh partai-partai Islam akhir-akhir ini dapat berakhir dengan damai, terbuka dan dapat diterima dengan lapang hati oleh semua pihak, termasuk para pengikut anggota partai yang bersangkutan.

****

1 komentar:

rifkadejavu mengatakan...

Tambah banyak partai islam, maka bakalan bertambah juga perpecahan di kalangan islam