Halaman

Rabu, 14 Maret 2012

Boyband dan Sebuah Kepedulian


PARADE boyband yang sempat menyihir tanah air di dekade 90-an rupanya kembali menjadi fenomena dalam setahun terakhir. Jika dulu remaja hingga orang-orang dewasa “menggandrungi” boyband dari negara-negara Paman Sam, Amerika Serikat atau bangsa barat, saat ini justru sebaliknya. Negara-negara Asia Timur lebih mendapatkan tempat di hati para pencinta musik. Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang ataupun Cina memang tak henti-hentinya melahirkan boyband ciamik. Namun sejauh ini memang negara Korea Selatan masih menempati posisi teratas sebagai penghasil boyband dengan tampilan menarik dan kualitas mumpuni. Mulai dari paras, penampilan hingga aksi yang mereka suguhkan mampu mengundang decak kagum para remaja dari berbagai negeri.
Media di tanah air pun tak luput dari “demam boyband” ini. Bukan hal yang mengherankan lagi jika sepak terjang dan perkembangan boyband-boyband dari negeri ginseng ini kerap menjadi jualan andalan untuk meraup massa (pembaca/penonton) maupun rupiah. Super Junior, Shinee, Smash, H.O.T dan lainnya merupakan sebagian dari nama-nama boyband yang memiliki ratusan bahkan jutaan penggemar di negara-negara Asia dan paling laris diberitakan. Sadar ataupun tidak, lambat laun keberadaan boyband yang kembali mendapatkan tempat di hati para fans ini memunculkan ide yang sama di kepala para produser ataupun musisi Indonesia. Apalagi kalau bukan menghadirkan boyband-boyband yang “terinspirasi” dari negeri tetangga tersebut.
Tak mengherankan jika dalam satu tahun terakhir, boyband yang secara sederhana merupakan kumpulan dari anak muda (pemuda-pemudi) yang memiliki kemampuan dalam hal menyanyi dan menari pun turut meramaikan pentas musik tanah air. Banyak nama yang juga bisa disebutkan. Seperti SM*SH, Miki, Super Nine Balls, XOIX, MAX 5, dll. Namun dari beberapa nama tersebut, boyband SM*SH tetap menjadi yang teratas. Boyband yang beranggotakan tujuh pemuda ini menjadi pelopor dalam menimbulkan “demam” boyband di tanah air. Dari segi kuantitas tentunya keberadaan boyband ini menambah jumlah dan variasi dalam daftar musisi tanah air. Selain solois, duo, grup maupun band-band yang telah lebih dulu ada. Namun berbeda halnya jika kita lihat dari segi kualitas.
Kualitas di sini bukan semata-mata kualitas boyband yang bersangkutan, yang sebagian di antaranya tidak kita pungkiri memang memiliki vokal prima dan lagu-lagu yang enak didengar. Tapi lebih dari itu. Kualitas dalam arti kemampuan pemuda-pemudi tanah air melahirkan karya yang otentik, tidak meniru, ikut-ikutan tren ataupun mengekor bangsa lain yang telah lebih dulu sukses. Baik dari segi musikalitas maupun penampilan tampaknya justru mengalami penurunan. Antusiasme para pemuda ini di satu sisi memang baik. Tapi di sisi lain menunjukkan bahwa generasi muda bangsa Indonesia masih memiliki kepercayaan diri yang rendah. Pepatah “rumput tetangga selalu lebih hijau” sepertinya tepat untuk menggambarkan hal tersebut. Karya atau apapun yang dihasilkan oleh orang lain selalu lebih baik. Termasuk dalam hal bermusik. Tak mengherankan, jika kemudian kenyataan ini juga membuktikan bahwa kepedulian kita (siapa pun) terhadap generasi muda juga masih kurang.
Generasi Muda antara Karya dan Kepedulian Bangsa
Menilik pola didikan generasi masa lalu (pra dan pascakemerdekaan), kepedulian itu bukan hanya sekadar untuk basa-basi. Kepedulian itu melekat pada tiap pribadi mereka yang menjadi bagian dari bangsa. Mulai kalangan rakyat biasa hingga pejabat tinggi. Mereka tidak hanya menyampaikan kepedulian itu dalam bentuk retorika yang enak didengar. Namun juga menunjukkannya melalui perbuatan dengan tujuan untuk memberi pengajaran.
Seorang Presiden Soekarno pun pernah menunjukkan kepeduliannya. Beliau melakukan “didikan keras” terhadap band Koes Bersaudara, yaitu dengan memenjarakan para personilnya hanya karena mereka terpengaruh dan ikut-ikutan demam The Beatles, band asal Inggris yang terkenal dengan rambut bob dan poninya itu. Soekarno menganggap hal ini tidak baik bagi generasi muda. Karena dapat menurunkan kepercayaan diri generasi muda dan menjadikan mereka tidak memiliki kepribadian yang orisinil. Padahal saat itu Koes Bersaudara merupakan band yang digandrungi oleh anak muda tanah air. Secara tidak langsung beliau pun turut membangun karakter para pemuda tanah air.
Andaikan kita kaitkan dengan masa sekarang, barangkali Presiden Soekarno atau siapa pun yang melakukan hal serupa akan dianggap melanggar HAM. Dan dalam sekejap akan berada di meja hijau. Karena membatasi kebebasan dalam berkreasi dan berekspresi pada diri seseorang. Padahal kalau kita tilik lagi, hal ini justru mengajarkan kepada kita bahwa kepedulian itu bukan hanya sekadar basa-basi yang muncul di saat atau momen tertentu. Serta pada dasarnya kebebasan sekalipun memiliki batasan yang patut kita perhatikan. Seorang Presiden Soekarno telah membuktikan bahwa siapapun memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam membenahi hal-hal “keliru” yang ada di tengah bangsanya. Sementara bagi sebagian yang lain kepedulian dan hal semacamnya justru berada di urutan kesekian. Bagi mereka yang terpenting adalah pasar menyukai apa yang mereka tawarkan. Maka tak mengherankan jika boyband dengan bermacam pernik dan ciri khas yang dipaksakan terus bermunculan dan berlomba-lomba mendapatkan tempat di dunia musik tanah air. Hal ini tentunya memprihatinkan.
Meskipun demikian harus kita akui bahwa memang tidak mudah untuk menghilangkan “budaya” (mengekor/meniru) yang terlanjur menjalar di tubuh kita, menumbuhkan kembali kepercayaan diri serta kepedulian di tengah masyarakat. Dan harus diakui juga untuk melakukan hal yang serupa akan terasa sulit saat ini. Kita tidak bisa melakukan pelarangan membabi buta atau melakukan sensor yang berlebihan dalam membatasi pertumbuhan atau perkembangan boyband tanah air tersebut. Namun juga bukan pekerjaan yang mustahil untuk mencobanya secara terus menerus. Karena seperti kita ketahui bangsa ini lahir dan terbentuk juga karena sebuah kepedulian. Kepedulian para tokoh/generasi muda dan siapa saja yang merasa memiliki bangsa ini.
Kita bisa memulai hal tersebut dengan membuat pembatasan secara wajar dari lingkungan rumah atau tempat tinggal (lingkungan sekitar). Baik itu terhadap anak, adik, kakak, saudara-saudari ataupun tetangga yang ikut-ikutan tren, cenderung meniru atau mengekor. Singkatnya mereka tidak lagi  menjadi dirinya sendiri atau tampil apa adanya. Maka salah satu jalan untuk menumbuhkan kepedulian itu dapat dimulai dari rumah maupun pendidikan di sekolah agar bangsa ini terselamatkan. Seperti memperbanyak kegiatan yang bertujuan sebagai media berkereasi dan berekspresi bagi generasi muda, menumbuhkembangkan semangat untuk berkarya serta memberikan penghargaan terhadap karya yang dihasilkan oleh generasi muda secara jujur. []
Padang, 12 Maret 2012
*Tulisan telah dimuat di www.kuflet.com

Tidak ada komentar: