Halaman

Minggu, 14 Desember 2008

PERGURUAN TINGGI “STOP” HASILKAN PEKERJA!

Beberapa tahun terakhir kehadiran para lulusan perguruan tinggi (negeri, swasta dan agama) sepertinya kurang digubris atau mendapat perhatian lagi di tengah masyarakat. Saat ini lulusan-lulusan (sarjana) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dianggap hanya sebagai penambah panjang daftar pengangguran (orang-orang yang tidak bekerja) di negeri ini. Mereka cendrung hanya dianggap sebagai “pengangguran baru” yang kebetulan memiliki “gelar” akademik tertentu. Para sarjana yang dengan susah payah menyelesaikan bangku perkuliahannya selalu dipandang sebelah mata. Baik itu oleh kalangan akademisi kampus maupun masyarakat.

Hal ini secara tidak langsung dapat dilihat melalui pencitraan yang diberikan oleh media selama ini. Dapat kita saksikan bagaimana media (cetak dan elektronik) dengan gigih dibantu oleh para pakar akan melakukan penilaian, penghitungan dan meramalkan nasib para “pengangguran baru” ini dengan angka-angka statistik (yang memusingkan) setiap tahunnya (periode kelulusan). Media massa sepertinya berlomba-lomba untuk memprediksikan lulusan mana yang lebih siap pakai (berkualitas) dan kampus atau perguruan tinggi mana yang lebih berjaya dalam menghasilkan lulusan dalam jumlah yang fantastis (banyak).

Hal itu sering kali dilakukan sesaat setelah mereka (sarjana) merayakan keberhasilannya pada saat diwisuda. Bahkan di kalangan civitas akademika sendiri juga beredar guyonan “Lebih baik jadi MA (Mahasiswa Abadi) daripada menyelesaikan perkuliahan tepat pada waktunya tapi ujung-ujungnya jadi pengangguran!” Dengan penyambutan “hangat” seperti ini yang secara tidak langsung menanamkan paradigma “jadi sarjana = harus bekerja” kepada para lulusan, civitas akademika dan masyarakat maka tidaklah mengherankan jika beberapa waktu kemudian ramalan-ramalan tersebut menjadi kenyataan yang lagi-lagi justru memusingkan mereka.

Paradigma atau pemikiran yang seperti ini haruslah dikikis habis. Bagaimana tidak, kaum terpelajar atau intelektual muda yang juga disebut sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya dihargai dan diberikan dorongan semangat serta optimisme dalam memberikan yang terbaik kepada bangsanya di masa depan justru diperlakukan sebaliknya. Mereka secara tidak langsung dianggap (maaf) sebagai kaum yang tidak berguna dan tidak dapat berbuat apa-apa bagi kemajuan dan kejayaan bangsa ini yang ironisnya selalu bercita-cita untuk itu! Padahal pemberian gelar serta upacara pelantikan (wisuda) yang dilakukan selama berjam-jam tersebut tujuan sebenarnya adalah untuk mewujudkan hal tersebut. Tak lain merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan dari akademisi kampus dan lingkungan sekitar atas usaha yang mereka lakukan serta prestasi yang mereka raih sesuai dengan bidang yang mereka tekuni masing-masing.

Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan hasil bumi (Sumber Daya Alam/SDA) tentunya sangat membutuhkan para sarjana (intelektual muda) ini dalam mengelola semua kekayaan tersebut. Di antaranya adalah untuk menciptakan ide-ide atau gagasan-gagasan baru, menghasilkan karya-karya yang bermanfaat, memberikan pendidikan dan pengajaran untuk meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi di negara ini, menjaga dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki serta mampu untuk meningkatkan martabat dan harga diri bangsa (dalam maupun luar negeri). Pada dasarnya tugas-tugas inilah yang sedianya menjadi tanggung jawab “pengangguran baru” tersebut.

Di era global seperti saat ini bukan lagi saatnya untuk berdebat mengenai berapa banyak pemerintah harus menyediakan lapangan kerja, program-program studi apalagi yang perlu ditambah, berapa banyak lagi perguruan-perguruan tinggi harus didirikan, berapa banyak para ahli (professor) yang perlu diimpor ke negeri ini ataupun berapa persen lulusan yang bekerja di dalam maupun menjadi “buruh/pekerja” di negara asing yang notabenenya justru tidak mendapat apa-apa kecuali siksaan dan kematian ataupun memperhitungkan statistik-statistik rumit yang tidak dapat menyelesaikan persoalan.

Bangsa ini harusnya berpikir bagaimana cara untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang saat ini serta memanfaatkan dengan sungguh-sungguh apa yang kita miliki guna menghasilkan para pemikir-pemikir (intelektual muda / sarjana) yang kritis, kreatif, inovatif, memiliki optimisme, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan sekitar dalam kehidupannya sehari-hari. Suatu kemajuan hanya akan terwujud jika semua pihak mau berpikir mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan yang ada. Tentunya secara tidak langsung lembaga pendidikan (perguruan tinggi) memiliki wewenang dan tugas untuk mewujudkan hal-hal di atas.

Menjadi sarjana, intelektual, ilmuwan tidaklah sama dengan menjadi pekerja. Karena hakikat dari menjadi intelektual atau ilmuwan dalam arti paham dan menguasai bidang pengetahuan tertentu adalah seberapa besar kemauan dan kepekaan kita untuk berpikir, menggunakan akal dan pikiran guna melihat, memperhatikan, menelaah, menghadapi, mencari jalan keluar dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Baik itu terkait dengan bidang keilmuan yang kita kuasai maupun tidak. Bukan dari seberapa banyak lamaran yang telah dikirimkan ke perusahaan-perusahaan asing yang hanya menjadikan para sarjana tadi sebagai bawahan dan pekerja itu pun jauh dari bidang yang mereka kuasai.

Istilah “cogito ergo sum” yang diutarakan para filosof (Yunani) dapat dijadikan pedoman untuk melangkah menghadapi hari-hari baru dalam kehidupan para sarjana atau intelektual muda ini di tengah-tengah masyarakat nantinya.

Padang, 10-6-2008

Tidak ada komentar: